Pemikiran Teologi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (Aswaja)

PEMIKIRAN TEOLOGI AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH: SALAF (AHMAD IBN HANBAL DAN IBN TAIMIYAH)

A. Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka yang selalu berpegang teguh kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat, tabi’in, dan para pelopor kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti itu karena mereka menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka untuk merujuk kepadanya lahir dan batin.

Dalam hal ini ada dua versi yaitu: Salaf dan Khalaf, namun di sini secara khusus hanya membahas tentang salaf.

B. Pengertian Salaf

Kata salaf secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan. Berkata Ibnul Mandzur : “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang lebih banyak”. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-Salafush Shalih. Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus untuk para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikut sertakan karena mengikuti mereka. Al-Qalsyaany berkata dalam Tahrirul Maqaalah min Syarhir Risalah : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah SWT telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan meridhoi mereka sebagai imam-imam umat.

Salafiyah adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang mengacu kepada sikap atau pendirian yang dimiliki para ulama generasi salaf itu. Kata salafiyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘terdahulu’, yang maksudnya ialah orang terdahulu yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad SAW, Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in.

Aliran salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah.

Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur".[1][1] Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, diantaranya adalah:

1. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’, tabi’ tabi’in para pemuka abad ke-3 H, dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula uluma-ulama shaleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.[2][2]

2. Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antropomorphisme).[3][3]

3. Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya.[4][4]

Konsep aqidah salaf atau disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode Alquran yang relevan dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan para penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang terkandung pada ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya.Hasan al-Banna kemudian menguatkan sikap tentang hal yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut merupakan hal yang dipermasalahkan oleh kaum salaf dan kaum khalaf, kemudian Hasan al-Banna menguatkan pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat atau Hadis yang membahas tentang sifat Tuhan tidak harus diinterpretasi atau dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk mengimani Tuhan.

Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut :

1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah(aql).

2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.

3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.

4. Mereka mengimani ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.

Bila Salafiyahmuncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof Islam dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya.

C. Ulama-ulama Salaf dan Beberapa Pemikirannya

1. Imam Ahmad Bin Hanbali

a. Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal

Imam Hanbal nama lengkapnya ialah Al-imam Abu abdillah Ahmad ibn Hanbal Hilal Addahili As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M.Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbal karena merupakan pendiri madzhab Hambali.

Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar, sedangkan ibu beliau bernama Syahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sahawah bin Hindur Asy-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka kaum bani Amir.

Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja, Namun ia telah memberikan pendidikan Al-Qur’an pada Ibnu Hanbal pada usia 16 tahun ia belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama’-ulama’ Baghdad. Lalu mengunjungi ulama’-ulama’ terkenal di khuffah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah : Hammad bin Khallid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq bin Humam, dan  Musa bin Thariq. Dari guru-gurunya Ibn Hanbal mempelajari ilmu fiqh, kalam, ushul, dan bahasa Arab.

Karya beliau sangat banyak, di antaranya : Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits, Kitab At-Tafsir, Kitab Az-Zuhud, Kitab Fadhail Ahlil Bait, Kitab Jawabatul Qur’an, Kitab Al Imaan, Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, Kitab Al Asyribah, dan Kitab Al Faraidh.

Ibnu Hanbal dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tazilah, Ibnu Hanbal menjadi korban mihnah (inquisition) karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya pada masa pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq ia harus mendekam dipenjara. Namun setelah Al-Mutawakkil naik tahta Ibnu Hanbal memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan.[5][5]

Dan dalam menanggapi Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal berkata : “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”.[6][6]

Dari pernyataan di atas tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk.

b. Pemikiran Teori Ibn Hanbal

1) Tentang ayat-ayat Mutasyabihat

Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an , Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat Mustasyabihat. Hal itu terbukti ketika ditanya tentang penafsiran “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.”(Q.s. Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab “Bersemayam diatas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.”

Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”

Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.

2) Tentang Status Al-Qur’an

Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qodim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpina khalifah Al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham mu’tazilah.

Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, Sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.

Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Itu dapat dilihat dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq bin Ibrahim, gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal.Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan rasul-Nya.

2. Ibn Taimiyah

a. Riwayat Singkat Hidup Ibn Taimiyah

Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim binTaimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiul awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib dan hakim di kotanya.

Dikatakan oleh Ibrahim Madkur bahwa ibn Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhadditsmufassir, faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritikannya ditujukan pula pada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama sezamannya. Berulangkali Ibn Taimiyah masuk kepenjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.

b.Pemikiran Teori Ibn Taimiyah

Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut :

1. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits.

2. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal

3. Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama

4. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)

5. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.[7][7]

Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:

1. Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.

2. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.

3. Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.

Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[8][8].

Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiyah adalah seorang tekstualis. Oleh sebab itu pandangannya dianggap oleh ulama mazhab Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (antropomorpisme) Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.

Berikut ini adalah pandangan ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.[8]

1) Percaya Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:

a) Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdanniyah.

b) Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea, bashar, hayat, ilmu, dan kalam.

c) Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis walaupun akal bertanya tentang maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh orang beriman diakhirat kelak; wajah, tangan dan mata Allah

d) Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, rabb al-amin, khaliq al-kaum. Dan falik al-habb wa al-nawa.

2) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.

3) Menerima sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak mengubah makna yang tidak dikehendaki lafadz, tidak menghilangkan pengertian lafazd, tidak mengingkarinya, tidak menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak menyerupai sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.

Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.

D. Perkembangan Salafiyah di Indonesia

Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-gerakan persatuan islam (persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).

Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan berkembang pula menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan, sebagaimana Khawarrij, Mu’tazilah, Maturidiyah, dan kelompok-kelompok Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahl-sunnah wa al-jama’ah, di luar kelompok Syiah.

A. Kesimpulan

Untuk memahami latar belakang perkembangan, pemikiran dalam masyarakat islam, tentu salah satu cara yang bisa kita gunakan adalah dengan melihat materi-materi agama yang menjadi konsern umat islam. terutama semua materi yang menjadi konsern umat islam dinyatakan merujuk pada Al-Qur’an dan hadis.

Imam hanbali adalah salah seorang tokoh ulama salaf yang mempunyai ciri khas dalam pemikirannya yaitu lebih menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, kemudian beliau menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada akal. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya

B. Saran

Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan kita tentang pemikiran ahl al-sunnah wa al-jamaah khususnya tentang salaf.Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan untuk itu penulis sangat mengharapkan bimbingan, saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan penyusunan makalah di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Asy Syak’ah Mustofa. 1994. Islam Tidak Bermazhab. Jakarta: Gema Insani

Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2007. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia

http://ferdiansweblog.blogspot.com/2010

http://nuris23.wordpress.com/salafiyah-yang-dibina-oleh-dr-aminullah-el-hady/


[1][1] http://id.wikipedia.org/wiki/Salaf

[2][2]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), 109

[3][3]Rozak, Ilmu Kalam, 109

[4][4]Rozak, Ilmu Kalam, 109

[5][5]Rozak, IlmuKalam, 112

[6][6]Tanto Al-Jauhari, http://jauharie.blogspot.com/2010/11/golongan-salaf.html,

[7][7]Rozak, IlmuKalam, 116

[8][8]Rozak, IlmuKalam, 117

 
Design by http://abasawatawalla01.blogspot.com/ | Bloggerized by Abasawatawalla