Syar’u man Qoblana

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Syar’u man Qoblana
Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah: Hukum syariat orang-orang (umat) sebelum kita.
Syar'u man qablana adalah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim, syari'at Nabi Musa, syari'at Nabi Daud, syari'at Nabi Isa, dan sebagainya.
Para ahli ushul fiqh membahas persoalan syari’at sebelum Islam dalam kaitannya dengan Syari’at Islam, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum Islam menjadi hukum juga bagi Umat Islam. Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh Syari’at Islam. Mereka juga sepakat mengatakan bahwa pembatalan syari'at syari'at sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum hukum syari'at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari'at Islam, seperti beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi tindak pidana pencurian. Ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad, seperti puasa (lihat surat al-Baqarah (2): 183), hukuman qishash (lihat surat al-Ma’idah (5): 32) dan sebagainya.

B.    Dasar Hukum Syar’u man Qoblana
Pada asas syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah :
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (Asy-Syura (42): 13)
Di antara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.

C.    Pembagian Syar’u man Qablana
Sesuai dengan ayat dalam Al Qur’an Surah Asy Syura (42): 13 di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
1.    Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad . Untuk bentuk pertama ini, ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad .
2.    Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad . Para ulama tidak menjadikan bentuk kedua ini sebagai dasar hujjah
3.    Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ketiga ini. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad . Berdasarkan inilah ulama-ulama Hanafiyyah menetapkan hukuman qishash kepada seorang muslim yang membunuh kafir dzimi. Mereka menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Sebagian ulama lain menetapkan bahwa dalam hal hokum semacam ini tidaklah menjadi hukum bagi kita, karena perincian syariat yang telah lalu tidaklah merupakan hukum yang bersifat umum yang mashlahah untuk setiap waktu dan tempat, hanya syariait islamiyyah yang berlaku bagi setiap waktu dan tempat dibawa oleh Nabi Muhammad , hal ini dikuatkan oleh firman Allah (Al-Ma’idah (5): 143)
”Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) mu. Dan kami tidak menjadikan kiblat yang engkau menghadap kepadanya (Baitil Maqdis), melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik atas kedua tumitnya (membelot). Dan sungguh (perpindahan kiblat) itu terasa berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.
Pembagian Syar’u Man Qablana dan contohnya :
1.    Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh). Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2.    Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
3.    Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita.
a.    Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur'an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b.    Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari'at kita
4.    Nasikh Mansukh dan pendapat para ulama dalam Syar’un Man Qablana
Persoalan yang dibahas para ulama ushul fiqh dalarn masalah syar'u man qablana adalah mengenai status hukum syari'at sebelurn Islam dalam kaitannya dengan sebelum dan sesudah Rasulullah diutus menjadi Rasul.
Apakah Rasulullah sebelum diutus menjadi Rasul terikat dengan hukum hukum syari'at sebelum Islam?
Dalam menanggapi masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Jumhur Mutakallimin (ahli kalarn) dan sebagian ulama Malikiyyah mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebelum diutus menjadi Rasulullah, tidak terikat dengan syariat sebelum Islam. Alasan mereka adalah apabila Rasulullah . sebelurn menjadil Rasul terikat dengan syari'at syariat sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkan hal itu. Dari penelusuran terhadap kehidupan Nabi Muhammad , menurut mereka, tidak ditemukan dalil yang menegaskan bahwa beliau terikat dengan syari'at sebelum Islam.
Ulama Hanafiyyah, Hanabilah, ibn al Hajib (570 646 H/1 174 1248 M ahli ushul fiqh Maliki) dan al Baidhawi (w. 685 H/1286 M./ahli ushul fiqh Syafi’i), mengatakan bahwa Rasulullah sebelum menjadi Rasul terikat dengan syariat sebelurn Islam. Alasan mereka adalah:
a.    Setiap Rasul Allah diseru untuk mengikuti syari'at rasul rasul sebelumnya. Nabi Muhammad juga termasuk ke dalam seruan ini.
b.  Banyak sekali riwayat yang menunjukkan bahwa Muhammad sebelum menjadi rasul telah melakukan perbuatan/amalan tertentu yang sumbernya bukan akal semata, seperti ia melaksanakan shalat, haji,.umrah, mengagungkan Ka'bah dan thawaf di sekelilingnya dan menvembelih binatang.
Imam al Ghazali, al Amidi,' dan 'Abdul Jabbar (ulama Mu'tazilah), bersikap tawaqquf (tidak berkornentar) terhadap permasalahan ini, karena tidak adanya dalil yang pasti dalam. masalah ini. Menurut mereka, apabila ada alasan dari nash (ayat atau hadits) yang menunjukkan bahwa Muhammad saw. terikat dengan hukum tertentu, maka mereka terima. Apabila tidak ada dalil yang menerangkannya, maka mereka tidak mengambil sikap.
Apakah syari'at sebelum Islam mengikat bagi Rasulullah setelah menjadi Rasul dan mengikat juga bagi umat Islam?
Dalam masalah ini para ulama sepakat mengatakan bahwa untuk masalah aqidah, syari'at Islam tidak membatalkannya. Kepercayaan dan keyakinan kepada Allah sejak zaman Nabi Adam berlaku sampai sekarang. Demikian juga dalam masalah hukuman pencurian, perzinaan, pembunuhan, dan kekafiran. Hukum hukurn. syari'at sebelurn Islam yang tidak terdapat dalam Qur'an dan sunnah tidak menjadi syari'at bagi Rasulullah dan umatnya.
Adapun hukum hukum syari'at sebelum Islam yang ada ketegasan berlakunya bagi umat Islam dalarn Qur'an, para ulama fiqh sepakat mengata¬kan bahwa hukum hukum itu berlaku dan mengikat bagi umat Islam, seperti puasa dan penyembelihan binatang.
Selain itu, terdapat hukum hukum yang tercantum. dalam Qur'an, tetapi tidak ada ketegasan berlakunya bagi umat Muhammad, namun diketahui secara pasti bahwa hukum itu berlaku bagi umat sebelum Islam dan tidak ada pembatalan dari Qur'an atau Sunnah Rasul. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat. MisaInya, persoalan qishash dalam syari'at Yahudi yang dipaparkan dalam al-Qur'an surat al-Maidah (5): 45:
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishashnya”.
Menurut jurnhur Ularna yang terdiri atas ularna Hanafiyyah, Malikiyah, sebagian ularna Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imarn Ahmad ibn Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum hukum syari'at sebelurn Islam itu disampaikan kepada Rasulullah melalui wahyu, yaitu Qur'an, bukan melalui kitab agarna mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum hukum itu, maka urnat Islam terikat dengan hukum hukum itu. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a.    Syari’at sebelurn syari’at Islam itu juga syari'at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalan syari'at tersebut, karenanya Umat Islam terikat dengan syari'at itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-An’aam (6): 90:
“Mereka itulah orang orang yang telah diberi petunjuk oleb Allab, maka ikutilah petunjuk mereka...
Dalam ayat lain Allah berfirman,
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad). Ikutilah Agama Ibrahim yang hanif.. (Q.S. al Nahl (16): 123)
Kedua ayat ini, menurut jurnhur ularna, merupakan alasan yang amat jelas menunjukkan bahwa urnat Islam terikat terhadap syari'at sebelum Islam yang disarnpaikan kepada Rasulullah melalui wahyu (al Qur'an). Dalarn ayat lain Allah berfirman untuk mengikuti syari'at Nabi Nuh , yaitu:
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang telah disyari'atkan-Nya kepada Nuh dan kepada yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrabim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecab belah karenanya.. (Q.S. As Syura (42): 13)
Ayat lain yang dikemukakan Jumhur sebagai alasan adalah surat Al-Maidah (5): 44-45.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya (berisi) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang menyerahkan diri (kepada Allah), dan (demikian juga) orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. (Sebab itu) maka janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku, dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit. Dan barang siapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir. Dan kami telah menetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qisas) nya, maka itu menjadi tebusan dosa baginya. Dan barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang yang zalim”.
b.    Mereka juga beralasan kepada sabda Rasulullah berikut:
Siapa yang tertidur dan 1upa untuk salat, maka kerjakanlah shalat itu ketika ia ingat/bangun, kemudian Rasulullab membacakan ayat: “Kerjakanlah shalat itu untuk mengingat-Ku (HR, al Bukhari, Muslim, al Tirmidzi, al Nasa'i dan Abu Daud)
Menurut jurnhur ularna, ayat yang dibacakan Rasulullah dalam sabda beliau itu merupakan ayat yang ditujukan kepada Nabi Musa. Ularna Asy'ariyyah, Mu'tazilah, Syi'ah, sebagian ularna Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imarn Ahmad ibn Hanbal (164 241 H/780 855M) mengatakan bahwa syari'at sebelurn Islam tidak menjadi syari'at bagi Rasu¬lullah dan umatnya. Pendapat ini juga dikemukakan Imam al Ghazali, al Amidi, Ibn Hazm al Zahiri (384 456 M/994 1064 M) dan Fakhruddin al-Razi (544 606 H/1150 1210 M). Alasan mereka adalah:
1)    Ketika Rasulullah mengutus Mu'az ibn Jabal untuk menjadi qadi ke Yaman, Rasulullah bertanya kepadanya:
 “Bagaimana engkau menetapkan hukum? Muaz menjawab: “Dengan Kitabullah, jika tidak ada dalam Kitabullah, dengan sunnah Rasulullah, dan apabila dalam sunnah Rasuludah juga tidak ada, maka saya akan ber-ijtibad. "Rasulullah memuji sikap Muaz ini. (HR al Bukhari dan Muslim)
Dalam kisah ini Rasulullah tidak menganjurkan kepada Mu'az untuk merujuk syari'at sebelum Islam. Apabila syari'at sebelurn Islam menjadi syari'at bagi umat Islam, paling tidak Rasulullah akan menganjurkan Mu'az untuk merujuknya apabila hukum yang ia cari tidak terdapat dalarn al Qur'an atau Sunnah Rasulullah .
2)    Firman Allah dalam surat Al-Maidah (5): 48:
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepadamu dengan (membawa) kebenaran, yang membenarkan terhadap apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan yang menjaga atasnya (batu ujian terhadap Kitab-kitab yang lain), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Bagi tiap-tiap umat diantara kamu, Kami telah menjadikan peraturan dan jalan yang terang, dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja, akan tetapi Dia hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, (karena itu) maka berlomba-lombalah kamu berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu semua, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang kamu perselisihkan dalam urusan itu”.
Maksudnya setiap urnat mempunyai syari'at sendiri dan suatu umat tidak dituntut untuk mengambil syari'at umat lain.
3)    Syari'at Islam merupakan syari' at yang berlaku untuk seluruh umat rnanusia, sedangkan syari'at umat sebelum Islam hanya berlaku bagi kaum tertentu. Dalarn sabda Rasulullah . dikatakan: “Para Nabi diutus khusus untuk kaumnya dan saya diutus untuk seluruh ummat manusia.” (HR. al Bukhari, Muslim dan al Nasa'i)
Mushthafa al-Bugha (guru besar ushul fiqh Universitas Damaskus, Syria), mengemukakan bahwa apabila diperhatikan ketiga pendapat di atas maka secara prinsip, hukum hukum syarl'at sebelurn Islam tidak dapat dijadikan sebagai daill dalarn menetapkan hukum Islam, karena sekalipun ulama yang menerimanya menetapkan syarl'at sebelum Islam bisa dijadikan alasan untuk menetapkan hukum syara', namun mereka tetap mengatakan hukum hukum itu harus terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah, sebagai sumber utama hukum Islam. Sumber lainnya pun harus mcrujuk kepada al Qur'an dan Sunnah. Oleh sebab itu, menurut al Bugha, pendirian Jumhur Ulama ini bukanlah suatu yang harus dipersoalkan, karena apabila ada nash nya dalam al Qur'an atau dalam Sunnah, maka secara otomatis hukum hukum itu wajib dilaksanakan umat Islam. Perbedaan pendapat ini hanyalah perbedaan dalam ungkapan saja, karena hukum hukum yang dise-butkan seperti hukuman pembunuhan, pencurian, perzinaan dan hukum puasa merupakan hukum yang berlaku dalam Islam dan wajib dilaksanakan umat Islam.
Muhammad Abu Zahrah, menyatakan apabila syari'at sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum hukum itu khusus bagi mere¬ka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Tetapi, apabila hukum hukum itu bersifat umum maka hukumnya juga berlaku umurn bagi seluruh umat, seperti hukuman qishash dan puasa yang ada dalam al Qur'an.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Adanya perbedaan pendapat mengenai legalitas syar’u man qoblana untuk dijadikan dalil dan sumber hukum Islam tidaklah membuat para ulama saling merasa diri mereka benar dan melecehkan argumen ulama lainnya yang tidak sependapat, semakin banyak perbedaan menunjukkan bahwa manusia benar-benar dikaruniai akal yang luar biasa. Tiap ulama memiliki hujahnya masing-masing yang sama-sama kuat. Semoga kita dalam menyoroti dalil yang masih diperselisihkan ini juga berpandangan secara objektif tidak subjektif, segala ilmu berumber dari Allah, dan yang paling mengetahui akan kebenarannyapun hanya Allah. Bila dalil Syar’u man Qoblana mendatangkan manfaat dan kebaikan niscaya tidak ada salahnya kita mempergunakannya dan mengamalknannya. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, penerbit dunia aksara, Jakarta, 2009.
Nasrun Harun, Sumber dan Dalil Hukum Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. II Rabi’ul Awal 1418 H/Agustus 1997 M.
A Dzazuli dan I.Nurol Aen, Ushul Fiqh (metodologi hukum islam), Grafindo Persada, Jakarta, Cet Pertama, 2000
http://syariah-muher.blogspot.com/2010/05/syaru-man-qablana-dosen-pengampu-prof.html

Istihsan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya : al-Ushul al-Mukhtalaf fiha), atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum. Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut sebagai Istihsan).
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah al-Istihsan,  pandangan para ulama tentangnya,serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Untuk pembahasan selengkapnya akan diuraikan pada bab selanjutnya.

B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Apakah yang Dimaksud dengan Istihsan?        
2.    Bagaimanakah Kekuatan Istihsan sebagai Hujjah?       
3.    Bagaimanakah Kontradiksi Istihsan dalam Pandangan Ulama’?
4.    Bagaimanakah Contoh Studi Kasus dalam Masalah Istihsan?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”
 Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1.    Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
2.    Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
3.    Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
4.    Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf memberikan gambaran aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan,
“Jika sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada atau kaidah umum tertentu kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian –dalam pandangannya- bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun meninggalkan hukum tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya dari kaidah umumnya, atau qiyas ‘khafy’ yang tidak terduga (sebelumnya). Proses ‘meninggalkan’ inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas hasil ijtihad ini.”

B.    Macam-Macam Istihsan
1.    Istihsan Qiyasi
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali (nyata) karena ada petunjuk untuk itu.
Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi.
2.    Istihsan Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu :
a.    Istihsan bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an atau As-Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.
b.    Istihsan berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
c.    Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-.
d.    Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.

C.    Kehujjahan Istihsan
Berdasarkan definisi dan macam-macam istihsan, dapat diketahui bahwa pada dasarnya istihsan bukanlah merupakan sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri. Sebab, dari bentuk yang pertama, adalah mengunggulkan qiyas yang samara daripada qiyas yang nyata. Karena hal itu dapat menentramkan mujtahid dengan jalan istihsan. Dan bentuk yang ke-dua adalah kemashlahatan, yang menuntut adanya perkecualian dari hukum umum (kully) dan hal itu juga dianggap sebagai alasan istihsan.
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok Hanafi. Mereka beralasan : Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambil dalil dengan qiyas samar yang mengalahkan qiyas nyata, atau memenagkan qiyas yang satu terhadap qiyas lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar.

D.    Kontradiksi Istihsan dalam Pandangan Ulama’
1.    Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan, antara lain:
“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” [QS. Az-Zumar (39:18)].
Dan sabda Rasulullah SAW : “ Apa yang dinggap baik oleh orang-orang Islam adalah juga baik di sisi Allah”. (HR.Ahmad dalam kitab Sunnah, bukan dalam musnadnya).
2.    Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’I, pendiri Mazhab Syafi’I, tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum. Menurut beliau, barang siapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat-buat syariat baru dengan hawa nafsu. Alasannya antara lain :
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” [QS. Al-An’am (06:38)]
 “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” [QS.Al-Maidah (05:49)
 “keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. [QS.An-Nahl (16:44)
Menurut Wahbah az-Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’i membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Sedangkan istihsan yang digunakan oleh para penganutnya adalah men-tarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumnya.
Dalam gambaran tersebut, sasaran dari kritikan Imam Syafi’i di atas, bukanlah istihsan yang telah dirumuskan secara definitif kalangan di kalangan penganutnya, tetapi sasarannya adalah praktik-praktik istihsan yang terdapat di Irak dimana secara ilmiah belum dirumuskan secara definitif.

E.    Studi Kasus Masalah Istihsan
1.    Contoh Istihsan Qiyasi
Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jail, hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
2.    Contoh Istihsan Istisnaiy:
a.    Istihsan bin-nash : hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad  terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf, maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari  no. 2085 dan Muslim no. 3010)
b.    Istihsan berlandaskan Ijma’ : Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidak-jelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
c.    Istihsan yang berlandaskan ‘Urf : Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
“Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumandangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk masjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam masjid.
Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf  yang berupa perbuatan adalah seperti kebolehan mewakafkan benda bergerak seperti buku dan perkakas alat memasak, berdasarkan adat setempat. Padahal wakaf biasanya hanya pada harta yang bersifat kekal dan tidak bergerak seperti tanah.
d.    Istihsan yang didasarkan atas Mashlahah Mursalah : seperti mengharuskan ganti rugi atas penyewa rumah jika perabotnya rusak ditangannya, kecuali disebabkan bencana alam. Tujuannya agar penyewa berhati-hati dan lebih bertanggung jawab. Padahal menurut ketentuan umum penyewa tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak, kecuali disebabkan kelalaiannya.

BAB III 
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu).
Secara istilah, mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
Istihsan dibagi menjadi dua, yaitu istihsan qiyasi dan istihsan istisnaiy.
Istihsan istisnaiy memiliki beberapa bentuk, yaitu : istihsan bin-nash, istihsan dengan ijma’, istihsan berdasarkan ‘urf, serta istihsan berdasarkan mashlahah mursalah.
Beberapa ulama’ berbeda pendapat terhadap penggunaan istihsan sebagai hujjah, diantaranya Imam Syafi’i, yang menolak menggunakan istihsan. Sedangkan Imam Hanafi, Maliki, dan Hanbali menerima istihsan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
B.    Saran
Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat para ulama seputar kehujjiyahan istihsan sifatnya redaksional dan tidak substansial. Sebab ulama yang berpegang pada istihsan tidak bermaksud melandaskannya hanya dengan hawa nafsu belaka. Sementara yang menolaknya juga dimotivasi oleh kehati-hatian mereka agar sang mujtahid tidak terjebak dalam penggunaan ra’yu yang tercela. Karena itu, kita juga telah menemukan bahwa Imam al-Syafi’i –yang dianggap sebagai ulama yang pertama kali mempersoalkan istihsan- ternyata juga menggunakannya dalam berbagai ijtihadnya.

DAFTAR PUSTAKA

Khalaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Amani. Cet.I. Penerjemah : Faiz El Muttaqin, S. Ag.
Khalaf, Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushulul Fiqh. Bandung : Gema Risalah Press. Cet. II. Alih Bahasa : Prof. Drs. K. H. Masdar Helmy.
Efendi, Satria dan M. Zein. Tanpa Tahun. Ushul Fiqh. Kencana Prenada Media Group.
http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item/7
http://www.alquran-indonesia.com/index.php?option=com_quran&task=detail&Itemid=70&surano=39
http://www.cybermq.com/pustaka/detail/doa/131/
http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-ushul-fiqh-dalil-yg-tidak-disepakati

 
Design by http://abasawatawalla01.blogspot.com/ | Bloggerized by Abasawatawalla